Sunday, September 9, 2018

Ayah dan bayi

Mengapa Ayah Tak Langsung Merasa Terikat dengan Bayinya?


Ilustrasi bayi

Seorang ayah tak selalu memiliki pengalaman cinta pada pandangan pertama dengan anak mereka seperti yang dimiliki seorang ibu. Kondisi ini antara lain karena ayah tidak memiliki pengalaman kehamilan.
Dilansir dari Fatherly, ibu sudah lebih dulu memiliki ikatan dengan anak karena 9 bulan masa kehamilan, sementara pria justru baru memunculkan emosi tersebut.
“Salah satu yang menyentuh pria pertama kali adalah rasa tanggungjawab dan ingin memberi perlindungan,” ungkap pakar parenting Caldwell University, Richard Horowits.
“Kondisi itu mungkin sedikit mengganggu hubungan dengan anak dalam jangka pendek.”
Di sisi lain, ada penjelasan biologis di balik keterikatan ayah dan anaknya yang baru lahir.
Perlu diketahui, tingkat oksitosin perempuan meningkat selama masa kehamilan dan persalinan, yang akhirnya menjembatani ikatan dengan anak mereka.
Pada pria kadar hormon ini baru meningkat ketika merawat sang anak.
Masalahnya, seringkali ada hambatan yang membuat pria tidak ikut campur dalam merawat anak, seperti sosial bias yang meminta pria lebih baik bekerja mendukung keluarga, dibandingkan mengurus anak yang merupakan tanggungjawab ibu.
Hal ini sesuai, menurut antropolog Anna Machin, dengan temuan studi Oxford University yang mengungkapkan ayah baru cenderung mengalami pemisahan peran dengan ibu—ayah bekerja dan ibu mengurus anak.
“Banyak yang berkomentar bahwa sikap masyarakat menempatkan ayah pada peran pendukung daripada orangtua.”
Ayah yang merasa bersalah tentang kurangnya ikatan dengan anak-anak mereka sebenarnya dapat mengambil manfaat dari menghabiskan lebih banyak waktu dengan ayah lain.
Berkumpul dan berbincang dengan ayah lain dapat dimanfaatkan untuk menghibur, serta saling berbagi satu sama lain soal pengalaman mereka.
Di lain pihak, di era modern ini semakin banyak keluarga yang memberi porsi pengasuhan anak cukup besar pada para ayah. Untuk memperkuat bonding dengan bayi, ayah bisa memulainya dengan membantu menidurkan bayi, mengganti popok, atau mengajak bayi bernyanyi

Kenali Gejala Depresi

Kenali Gejala Depresi yang Ternyata Tak Selalu Sama Pada Tiap Orang


Ilustrasi depresi

Depresi adalah gangguan mental yang bisa terjadi pada siapapun, baik anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Jika dibandingkan dengan stres, gejala depresi jauh lebih parah dan menimbulkan masalah yang lebih besar.
Lantas, adakah perbedaan ciri-ciri depresipada anak hingga orang dewasa? Yuk, simak ulasannya berikut ini.
Sering merasa sedih, cemas, atau ‘kosong’ adalah gejala depresi yang paling umum. Orang yang mengalami depresi cenderung sulit mengendalikan dirinya sendiri, tidak fokus, dan tidak bahagia dengan kehidupannya.
Selain itu, ciri-ciri depresi umum lainnya adalah:
  • Tidak minat untuk melakukan aktivitas apapun. Contohnya malas bekerja, malas keluar rumah, hingga menolak berhubungan seksual.
  • Banyak makan atau justru malas makan. Akibatnya, orang dengan depresi bisa mengalami kenaikan atau penurunan berat badan sebanyak lima persen dalam sebulan.
  • Mengalami gangguan tidur, termasuk insomnia, bangun kepagian, atau justru banyak tidur.
  • Mudah marah dan gelisah.
  • Rasa sakit di sekujur tubuh tanpa sebab, misalnya sakit kepala, sakit punggung, nyeri otot, dan sakit perut.

Gejala depresi pada anak dan remaja

Ilustrasi
Sebetulnya, ciri-ciri depresi pada anak dan remaja mirip dengan gejala depresi pada orang dewasa. Hanya saja, ada gejala depresi yang khas terjadi pada anak dan remaja, yaitu:
Anak-anak yang depresi umumnya sering merasa sedih, cemas, dan clingy alias mudah nempel dengan orang lain. Kondisi ini sering kali membuat anak-anak jadi malas ke sekolah, malas makan, hingga berat badan turun drastis.
Remaja yang depresi biasanya menjadi mudah marah, sensitif, menjauh dari teman sebayanya, perubahan nafsu makan, hingga menyakiti diri sendiri.
Bahkan, remaja yang mengalami depresi rawan terjerumus dengan penggunaan narkoba atau alkohol karena tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Gejala depresi pada lansia

Ilustrasi kesepian
Depresi bukan hal yang normal terjadi pada orang yang berusia lanjut. Sayangnya, depresi pada lansia sulit dideteksi sehingga sulit diobati.
Gejala depresi pada lansia sebetulnya tidak jauh berbeda dengan orang dewasa pada umumnya. Akan tetapi, gejala lainnya bisa berupa:
  • Mudah lelah
  • Kehilangan nafsu makan
  • Gangguan tidur, entah insomnia, bangun kepagian, atau justru banyak tidur
  • Pikun atau mudah lupa
  • Malas keluar rumah dan menolak untuk bersosialisasi
  • Muncul pikiran ingin bunuh diri
Jangan sepelekan sekecil apa pun ciri-ciri depresi yang terjadi pada diri kita atau orang yang kita kenal. Segera kunjungi psikiater jika mengalaminya.

10 Penyebab Depresi yang Paling Umum

10 Penyebab Depresi yang Paling Umum


Ilustrasi stres dan gangguan kecemasan

Setiap orang bisa mengalami depresi di segala usia. Apa yang mengakibatkannya belum diketahui pasti, tapi ahli kesehatan mental sedunia sepakat bahwa ada sejumlah faktor risiko penyebab depresi yang paling umum. Beberapa di antaranya bahkan tidak selalu bisa dicegah.
Depresi adalah salah satu penyakit mental yang paling umum terjadi di masyarakat. Namun, tidak ada penyebab pasti dari depresi. Hal ini biasanya merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor kompleks yang meliputi:
  • Faktor genetik. Memiliki orangtua atau saudara kandung pengidap depresi dapat meningkatkan risiko seseorang juga mengalami depresi.
  • Faktor biologis. Depresi bisa terjadi akibat kadar serotonin dalam otak yang tidak mencukupi. Kondisi ini dikenal sebagai depresi klinis.
  • Jenis kelamin wanita. Wanita dua kali lipat lebih mudah kena depresi karena perubahan hormon yang terjadi selama hidupnya. Seperti saat menstruasi (PMDD), kehamilan, melahirkan (depresi pascamelahirkan), dan perimenopause. Biasanya, risiko depresi pada wanita akan menurun setelah lewat usia menopause.
  • Pola makan buruk. Kekurangan vitamin dan mineral tertentu dapat memicu gejala depresi.
  • Mengidap penyakit fisik kronis. Pikiran dan tubuh kita saling terikat. Pada kebanyakan kasus, stres dan rasa sakit berkelanjutan dari penyakit kronis dapat menjadi penyebab depresi berat. Selain itu, penyakit tertentu, seperti gangguan tiroid, penyakit Addison dan penyakit hati, juga dapat memunculkan gejala depresi.
  • Trauma psikis yang terjadi saat masa kanak-kanak, seperti pelecehan seksual, kehilangan orangtua, atau perceraian orangtua.
  • Penyalahgunaan obat. Obat-obatan dan alkohol dapat memicu depresi. Bukan cuma golongan narkoba, tapi juga obat resep. Beberapa obat resep yang terkait dengan gejala depresi termasuk antikonvulsan, statin, stimulan, benzodiazepine, kortikosteroid, dan beta-blocker.
  • Stres berat dan kronis. Para peneliti menduga kadar hormon kortisol yang terus-terusan tinggi dapat menekan kadar serotonin dan akhirnya memicu gejala depresi.
  • Memendam emosi. Memendam emosi setelah kehilangan orang yang dicintai atau dikhianati bisa membuat seseorang menjadi depresi.
  • Faktor lingkungan, misalnya lingkungan pekerjaan. Stres di kantor terkadang juga bisa memicu munculnya depresi

Depresi dan Stres Bisa Sebabkan Hipertensi

    Awas, Depresi dan Stres Bisa Sebabkan Hipertensi

Ilustrasi stres dan gangguan kecemasan

Hipertensi merupakan penyakit yang amat berbahaya dan dapat menyebabkan komplikasi atau penyulit lanjut, seperti stroke, penyakit jantung dan gagal ginjal.
Hipertensi bisa disebabkan sejumlah kondisi, seperti faktor usia, keturunan, obesitas, hingga merokok.
Namun, kondisi depresi dan stres ternyata juga bisa memicu hipertensi.
“Sudah ada studinya bahwa mereka yang memiliki tekanan darah tinggi berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi dan gangguan kecemasan.”
Demikian diungkapkan Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dari RS Jantung Harapan Kita, Bambang Widyantoro seusai konferensi pers di Hotel Fairmont Jakarta, Selasa (7/8/2018).

Oleh karena itu, ia menyarankan kita untuk berkonsultasi dengan spesialis jiwa jika merasakan gangguan psikis berat. Meskipun menurutnya masih ada pandangan di masyarakat awam bahwa mereka yang datang menemui spesialis jiwa dianggap “orang gila”.
Padahal, depresi dan gangguan kecemasan harus dikenali dan dikonsultasikan sejak awal supaya tidak berlanjut.
Sebaliknya, hipertensi sendiri selain menyebabkan penyulit fisik juga bisa memengaruhi kondisi psikologis. Seseorang yang memiliki hipertensi juga bisa mengalami peningkatan depresi dan gangguan kecemasan.
Namun, ia meluruskan pandangan awam tentang seseorang yang sering marah-marah dianggap memiliki hipertensi.
“Tidak seperti yang beredar di masyarakat awam kalau sering marah-marah pasti hipertensi. Tidak begitu,” tuturnya.


Ilustrasi
Bambang menekankan pentingnya setiap orang rutin mengecek tekanan darah. Tekanan darah normal diusahakan berada di bawah angka 140 (sistolik) dan 90 (diastolik).
Angka ini berlaku untuk segala umur, sehingga perlu perhatian lebih jika angkanya di atas batas tersebut.
“Umur berapapun ketika menyentuh 140 atau 90 di bawahnya sudah termasuk hipertensi," paparnya.
"Penting juga diketahui walaupun semakin tinggi usia tekanan darah memang naik, tapi kita tidak bisa permisif atau toleran bahwa usia tua wajar punya tensi tinggi,” kata pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.

Galau Karena Kepikiran Hal yang Sama Berulang Kali?

Galau Karena Kepikiran Hal yang Sama Berulang Kali?


Ilustrasi depresi

Disadari atau tidak, kamu mungkin pernah memikirkan satu hal terus-menerus yang akhirnya jadi bikin galau dan cemas. Misalnya, kepikiran terus apakah proyek kantor bakal “gol” padahal rencananya memang belum matang.
Mungkin ada yang terus-terusan cemas bisa lulus skripsi atau tidak, ya? Lainnya mungkin tidak mengetahui apa yang menjadi sumber kekhawatiran mereka. Yang mereka rasakan adalah rasa tak berdaya dan tak enak hati karena dihantui oleh pikiran negatif yang tidak jelas asal-usulnya. Dalam dunia psikologis, kondisi ini disebut ruminasi.
Berbagai hal negatif yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan lama-lama bisa memicu stres. Lantas, Bagaimana cara menghentikan pikiran negatif yang terus menghantui?
Seperti dilansir dari Psych Central, Susan Noeh Hoeksema, PhD., seorang profesor psikologi di Yale University, mengungkapkan bahwa orang-orang yang memiliki depresi, gangguan kecemasan, PTSD, atau pemakai narkoba sering dihantui oleh pikiran-pikiran negatif yang tidak kunjung hilang.
Sejumlah kondisi ini sama-sama memengaruhi fungsi otak untuk mengatur, mengolah, dan merasakan emosi.
Baca juga: Perhatikan, 5 Gejala Fisik Tanda-tanda Depresi
Selain itu, American Psychological Association (APA) menyebutkan ada beberapa alasan mengapa orang bisa terus-menerus memikirkan hal yang sama, yaitu:
  • Yakin bahwa memikirkan suatu hal dapat meningkatkan pengalaman mengenai suatu masalah.
  • Pernah mengalami trauma emosional atau fisik.
  • Menghadapi stres yang tidak dapat dikendalikan.
  • Memiliki kepribadian yang perfeksionis atau neurotisism.
Jika tidak ditangani, kondisi ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental. Menghabiskan sebagian besar waktu tenggelam dalam pikiran negatif mengganggu kemampuan otak untuk berpikir jernih dan mengolah emosi. Hal ini juga bisa memperparah gangguan mental seseorang.
Buruknya, semakin kondisi bertambah parah, kamu akan menjadi semakin terisolasi.
Bagaimana menghilangkannya?
Begitu terjebak dalam pemikiran negatif, sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Jadi, kamu harus segera cari cara untuk mencegahnya semakin parah.
Berikut langkah-langkah yang bisa membantu menghilangkan pikiran negatif berulang:
1. Alihkan perhatian
Begitu menyadari bahwa kamu mulai merenung, cari suatu hal yang bisa mengalihkan perhatian dan pikiranmu. Caranya, lihatlah sekeliling, jangan terlalu lama untuk memutuskan pilihan apa yang bisa mengalihkan perhatianmu dan jangan biarkan pikiran kosong.
Misalnya dengan mencolek teman sebelah untuk ngobrol, main game di hape, menonton film, menggambar atau mencorat-coret kertas, membaca buku, atau memilih berjalan ke luar ruangan.
Baca juga: Kurangi Depresi dengan Olahraga dan Berkeringat
2. Buat rencana dan segera ambil tindakan
Daripada mengulangi pemikiran yang sama berulang kali, buatlah rencana untuk mengatasinya. Pikirkan setiap langkah yang kamu ambil untuk mengatasinya atau ambil secarik kertas dan tuliskan rencana.
Melakukan hal ini bisa mengacaukan “niat” otak untuk menyetel hal-hal negatif dalam pikiran dan membantu kamu untuk keluar dari jebakan tersebut.
3. Jadikan kesalahan sebagai pengalaman dan pelajaran
Pikiran berulang yang muncul sering kali berupa ketakutan terhadap kesalahan. Jika kamu terlanjur melakukan sebuah kesalahan, jangan coba hiraukan perasaan tersebut, tapi jangan juga terlalu memikirkannya. Hal tersebut justru bisa memicu pikiran negatif timbul terus.
Ingatlah bahwa setiap manusia di dunia ini pasti membuat kesalahan dalam hidupnya. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah move on dan jadikan kesalahan tersebut sebagai pengalaman serta pelajaran.
Dengan begitu, kamu bisa menjadi lebih tenang dan memikirkan solusinya sehingga pikiran tersebut kemungkinan besar tidak akan muncul lagi.
4. Pahami pemicunya dan coba untuk menenangkan diri
Setiap kali kambuh, segera catat tentang situasi yang kamu hadapi, misalnya sedang berada di mana dan pukul berapa waktu pikiran negatif tersebut muncul? Siapa yang berada di sekitarmu, atau apa yang sedang kamu lakukan hari itu?
Catatan ini bisa membantu untuk mengetahui pemicunya sehingga kamu bisa menghindarinya di lain waktu.
Menenangkan diri dengan mencari ruangan yang lebih tenang, mengatur pernapasan dalam dan perlahan, dan mulai pikirkan sesuatu yang sifatnya lucu atau menyenangkan bisa mengurangi keparahan ruminasi.
5. Ubah pemikiran menjadi lebih tenang dan positif
Perubahan sederhana, terutama dalam pemikiran dan menyikapi sebuah masalah bisa menghilangkan pemikiran berulang. Pikiran yang positif menjauhkan kita dari kecemasan, sikap pesimis, dan pikiran negatif yang bisa memicu ruminasi.
Luangkan waktu untuk menenangkan pikiran, misalnya melakukan hal-hal yang kamu suka atau mencoba hal-hal baru yang menyenangkan.
Jika masih kepikiran terus hingga sangat mengganggu aktivitas, mintalah bantuan orang terdekat untuk mendukung dan memberikan masukan-masukan yang positif. Mungkin kamu bisa melakukan konsultasi pada psikolog untuk mencari cara mengendalikan pikiran negatif tersebut

Ayah dan bayi

Mengapa Ayah Tak Langsung Merasa Terikat dengan Bayinya? Seorang ayah tak selalu memiliki pengalaman cinta pada panda...